Wayang, Tontonan yang Jadi Tuntunan
15 Mei 2012
Tulis Komentar
Kehidupan manusia sepertinya tak
dapat dipisahkan dari ibarat atau simbol. Salah satu simbol penting
yang bersentuhan langsung dengan gerbang kehidupan manusia adalah
wayang. Segala macam yang berhubungan dengan wayang, mulai dari adegan
dan lakon, wayang kulit, peralatan pentas (blencong, beber, dll),
pembabakan waktu, dan deretan wayang di sisi kiri-kanan kelir (batang
pisang untuk menancapkan wayang), semuanya memiliki makna penting yang
sayang untuk tidak diketahui dan dilestarikan.
Di era modern ini, dunia pewayangan merupakan sebuah kesenian yang sangat langka. Wayang merupakan warisan budaya klaksik yang sudah mengakar turun temurun. Wayang berasal dari kata wayangan, yaitu sumber pengilhaman untuk menggambarkan wujud tokoh dan cerita, sehingga bisa terbeber jelas dalam hati si penggambar karena sumber aslinya telah hilang, namun masih ada pakemnya. Secara leksikon (kosakata), wayang bisa diartikan sebagai bayangan atau cermin, karena dalam kesenian wayang terdapat beberapa pencerminan yang sangat dalam dari tokoh-tokoh yang diusung para dalang.
Kelir (batang pohon pisang), ini adalah penggambaran sebuah raga yang dihuni oleh jiwa yang berbentuk wayang. Kelir tidak akan berguna tanpa ada wayang yang ditancapkan. Kelir hanya digunakan ketika wayang dipentaskan di atas beber, dan ketika wayang tidak dibeber, maka kelir akan dibuang ke tempat sampah. Nilai filosofinya adalah; raga hanya akan berguna ketika jiwa masih menancap.
Goro-goro……
Goro-goro jaman kolo bendhu
Wulangane agomo ora digugu
Sing bener dianggep kliru, sing salah malah ditiru
Bocah sekolah ora gelem sinau
Yen dituturi malah nesu, bareng ora lulus ngantemi guru
Pancen perawan saiki ayu-ayu
Ono sing duwur tor kuru, ono sing cendek tor lemu
Sayang sethitek senengane mung pamer pupu.
Semar; tubuhnya bulat, selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya, simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya, sebagai simbol suka dan duka. Kuncung di kepala adalah perlambangan bahwa manusia haruslah menggunakan akal budinya dalam menimbang-nimbang semua permasalahan, sebagai simbol pria dan wanita. Namun, dalam istilah pewayangan yang dibawakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, Semar adalah gubahan dari lafadz “Simaar”, yang berarti “Paku”. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim haruslah menjadi paku. Siap untuk dipukul guna merekatkan kayu dan dipukul ketika menyembul keluar dari kayu. Ini menyiratkan bahwa seorang muslim haruslah bisa menjadi mediator (penyambung) dari semua golongan tanpa pandang bulu. Ciri yang menonjol dari Semar adalah kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta.
Wayang adalah wujud dari upaya
penggambaran nenek moyang suku Jawa tentang kehidupan manusia. Mereka
meyakini bahwa setiap benda yang hidup pasti mempunyai roh, ada yang
baik dan jahat, sehingga saat itu (sekitar tahun 1500 SM) dibuatlah
wayang dalam bentuk gambar ilusi atau bayangan (jawa; Wewayangan/
wayang). Agar terhindar dari gangguan roh-roh jahat, kemudian wayangan
tersebut disembah dan diberi sesajen (animisme). Namun setelah
agama-agama masuk ke Jawa, wayang berubah wujud menjadi alat peragaan
untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama, dan muncullah nama-nama lakon
yang disesuaikan oleh agama-agama yang mengusung dan bermetamorfosis
dengan perkembangan zamannya.
Menurut Prof. Dr. Soetarno, Ketua
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Surakarta, “Wayang merupakan
kebudayaan asli dari orang Jawa.” Wayang juga merupakan satu-satunya
kebudayaan yang memasyarakat, karena dalam wayang tidak mengenal istilah
kultur ataupun kasta. Seperti dikatakan oleh Sigmund Frued, “Kebudayaan
Indonesia menunjukkan dorongan yang lebih manusiawi. Historis
kebudayaan Indonesia menampakkan pola ke arah dorongan spiritual, wayang
sebagai salah satu hasil kebudayaan asli Indonesia menunjukkan pola
spiritual itu.”
Di era modern ini, dunia pewayangan merupakan sebuah kesenian yang sangat langka. Wayang merupakan warisan budaya klaksik yang sudah mengakar turun temurun. Wayang berasal dari kata wayangan, yaitu sumber pengilhaman untuk menggambarkan wujud tokoh dan cerita, sehingga bisa terbeber jelas dalam hati si penggambar karena sumber aslinya telah hilang, namun masih ada pakemnya. Secara leksikon (kosakata), wayang bisa diartikan sebagai bayangan atau cermin, karena dalam kesenian wayang terdapat beberapa pencerminan yang sangat dalam dari tokoh-tokoh yang diusung para dalang.
Dalam dunia seni, apa pun wujudnya,
setidaknya mempunyai delapan fungsi sosial yang amat penting. Kedelapan
fungsi sosial tersebut adalah: sarana kesenian, sarana hiburan santai,
sarana pernyataan jati diri, sarana integrative (pembauran), sarana
terapi/ penyembuhan, sarana pendidikan, sarana pemulihan ketertiban, dan sarana simbolik yang mengandung kekuatan magis/ ritual.
Makna di balik pementasan wayang
Selain sebagai tontonan yang menghibur, dalam seni wayang juga menyimpan makna filosofi yang terkadang menarik pada dunia mistik. Hal ini bisa disarikan dari instrumen pementasan wayang. Peralatan yang diusung oleh dalang ini bukanlah sekedar pelengkap belaka. Berikut adalah uthak-athik-gathuknya;
Selain sebagai tontonan yang menghibur, dalam seni wayang juga menyimpan makna filosofi yang terkadang menarik pada dunia mistik. Hal ini bisa disarikan dari instrumen pementasan wayang. Peralatan yang diusung oleh dalang ini bukanlah sekedar pelengkap belaka. Berikut adalah uthak-athik-gathuknya;
Dalang, peran dalang dalam pewayangan
adalah mengatur jalannya sebuah cerita. Tanpa dalang, wayang tentu tidak
akan pernah bisa jalan. Dalang adalah perumpamaan dari pemimpin adat,
spiritual, pemerintahan, kepala keluarga dan seterusnya. Ini adalah
pengibaratan bahwa sesungguhnya semua ciptaan Tuhan di bumi tidak akan
pernah bisa berjalan tanpa adanya Khalifah (pemimpin), yang selalu
menunjukkan jalannya kehidupan. Bisa juga dalang diibaratkan sebagai
sutradara kehidupan (Tuhan) yang mengatur sifat, hidup, mati, dan
kelakuan dari tokoh kehidupan (makhluk). Namun secara linguistik, kata
dalang merupakan pengalihan dari bahasa Arab “Dalla”, yang berarti
“Menunjukkan”. “Man dalla ‘ala al-Khairi Kafa’ilihi,” barang siapa
menunjukkan dan mengajak pada kebaikan, maka (pahalanya) laksana pelaku
kebaikan tersebut.
Beber (layar putih tanpa noda), adalah
penggambaran asal bumi yang suci sebelum dihuni oleh makhluk apa pun.
Namun, ketika makhluk sudah memasuki beber, maka dengan sendirinya bumi
akan terkontaminasi dengan perwatakan dari makhluk itu sendiri. Itulah
yang akan menjadikan penilaian subyektif tentang bumi hitam atau lembah
hitam dan putih. Akan tetapi di akhir cerita, beber pun akan putih
kembali. Ini mengibaratkan bahwa kelak makhluk pun diluluh lantakkan
dari atas bumi ini.
Kelir (batang pohon pisang), ini adalah penggambaran sebuah raga yang dihuni oleh jiwa yang berbentuk wayang. Kelir tidak akan berguna tanpa ada wayang yang ditancapkan. Kelir hanya digunakan ketika wayang dipentaskan di atas beber, dan ketika wayang tidak dibeber, maka kelir akan dibuang ke tempat sampah. Nilai filosofinya adalah; raga hanya akan berguna ketika jiwa masih menancap.
Wayang, dalam pembuatannya, wayang
sangatlah beragam bentuknya. Ada yang bagus, ada yang menyeramkan, dan
ada yang lucu. Namun, ketika wayang dipentaskan, wayang mempunyai dua
sisi pandang. Pertama, wayang yang dipertontonkan merupakan sebuah
wayangan (bayangan) belaka, dan yang kedua adalah wayang yang aslinya
dan dipegang oleh dalang. Hal ini pengibaratan dari jiwa makhluk yang
selalu mempunyai dua dimensi yang berbeda, ada yang dipertontonkan
kepada makhluk dan ada yang tidak (sirri), namun selalu digenggam oleh
sang ‘dalangnya’.
Blencong (lampu penerang di depan
layar), pengibaratan dari blencong adalah cahaya (wahyu) kehidupan.
Tanpa ada blencong, wayang pun takkan bisa jalan, walaupun sudah
menancap di atas kelir. Begitu pula tanpa cahaya kehidupan, jiwa dan
raga dari makhluk pun takkan bisa hidup. Dan cahaya (wahyu) kehidupan
hanyalah milih Sang Hyang Murbaning Dumadi (Allah).
Pethi (kotak kayu), berfungsi untuk
menyimpan wayang, baik yang belum digunakan atau pun yang sudah mati.
Ini mengibaratkan sebuah kuburan bagi tokoh-tokoh yang sudah mati. Walau
hidup seperti apa pun juga, kita akhirnya pun akan terkunci pada tempat
gelap, sempit, dan pengap.
Kemudian dalam pementasannya, lakon dan
alur cerita tidak bisa begitu saja dilakukan oleh dalang, harus melalui
beberapa pertimbangan. Misalnya, kepercayaan masyarakat di tempat
pementasan dan juga tujuan dari pagelaran itu sendiri (ruwatan, larung,
atau mungkin juga wangsit dari penanggap atau dalang).
Pesan agama dalam budaya
Goro-goro……
Goro-goro jaman kolo bendhu
Wulangane agomo ora digugu
Sing bener dianggep kliru, sing salah malah ditiru
Bocah sekolah ora gelem sinau
Yen dituturi malah nesu, bareng ora lulus ngantemi guru
Pancen perawan saiki ayu-ayu
Ono sing duwur tor kuru, ono sing cendek tor lemu
Sayang sethitek senengane mung pamer pupu.
Arti bebasnya kurang lebih begini;
kegegeran jaman edan (modern) , ajaran agama sudah tidak dihiraukan,
yang benar dianggap keliru, yang salah malah diikuti, anak sekolah sudah
enggan belajar, kalau dinasehati marah, sedangkan ketika tidak lulus
sekolah malah memukuli guru, memang perawan sekarang cantik-cantik, ada
yang tinggi langsing, ada yang pendek dan gemuk, sayang sekali sukanya
mengumbar paha)
Kutipan syair goro-goro di atas menjelaskan tentang goro-goro yang ada di pewayangan. Ada sisi menarik tentang munculnya goro-goro, selain selalu muncul di tengah malam, juga ditandai dengan gunungan. Di balik gunungan terlihat sunggingan yang menggambarkan api sedang menyala. Ini merupakan sengkalan yang berbunyi, “geni dadi sucining jagad”, yang mempunyai arti 3441 dan dibalik menjadi angka 1443. Ini sebagai tanda bahwa gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka.
Kutipan syair goro-goro di atas menjelaskan tentang goro-goro yang ada di pewayangan. Ada sisi menarik tentang munculnya goro-goro, selain selalu muncul di tengah malam, juga ditandai dengan gunungan. Di balik gunungan terlihat sunggingan yang menggambarkan api sedang menyala. Ini merupakan sengkalan yang berbunyi, “geni dadi sucining jagad”, yang mempunyai arti 3441 dan dibalik menjadi angka 1443. Ini sebagai tanda bahwa gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka.
Gunungan (wayang yang disimbolkan
sebagai alam dan isinya dengan bentuk lonjong bergambar hutan, pohon
sembilan cabang, hewan buas, rumah joglo, dua raksa penjaga gerbang,
api, angin, air, dan tanah) yang digambarkan unik oleh Sunan Kalijaga
bukan sekedar kreativitas dalam seni ukir belaka. Selain keunikan
bentuknya, juga mempunyai nilai mistis maha tinggi, yaitu perwatakan
dari isi seluruh alam dan sangkan paraning dumadi (asal mula kehidupan).
Berawal dari kemunculannya selalu di
tengah malam – hal ini menyiratkan pada keyakinan orang Islam atau pun
Jawa bahwa pertengahan malam yang akhir adalah waktu yang paling tepat
untuk mediasi berdoa, muhasabah, dan tafakkur – juga muncul setelah
terjadi perselisihan dan peperangan seru antara tokoh dalam pewayangan
atau ketika pergantian lakon. Hal itu menunjukkan bahwa semua hal dalam
kehidupan tokoh, kembali pada alam dan sang pengendali gunungan.
![]() |
Punokawan |
Setelah gunungan dan goro-goro lewat,
muncullah tokoh empat punakawan (bukan empat sekawan). Arti dari
Punakawan – terdiri dari Ki Lurah Semar Badranaya atau Sang Guru Sejati,
Ki Nala Gareng, Ki Lurah Bagong, dan Ki Petruk Kanthong Bolong– adalah
“Kawan yang menyaksikan” atau “Pengiring”. Dalam hukum agama Islam,
saksi dalam sebuah masalah yang terbanyak adalah 4 orang saksi, dan
minimal adalah dua orang saksi.
Bentuk dari punakawan merupakan
perwujudan dari macam-macam bentuk perwatakan manusia. Selain itu, dalam
pewayangan Sunan Kalijaga, nama-nama dari punakwan terlahir dari
intisari al Quran. Peranan Punakawan sangat menentukan keberhasilan
suatu kehidupan. Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang
ikut berproses dalam kehidupan manusia dan merupakan simbol dari cipta,
rasa, karsa dan karya. Dalam uthak-athik-gathuk ala kejawen,
penggambaran punakawan sebagai berikut;
Semar; tubuhnya bulat, selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya, simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya, sebagai simbol suka dan duka. Kuncung di kepala adalah perlambangan bahwa manusia haruslah menggunakan akal budinya dalam menimbang-nimbang semua permasalahan, sebagai simbol pria dan wanita. Namun, dalam istilah pewayangan yang dibawakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, Semar adalah gubahan dari lafadz “Simaar”, yang berarti “Paku”. Hal ini menunjukkan bahwa seorang muslim haruslah menjadi paku. Siap untuk dipukul guna merekatkan kayu dan dipukul ketika menyembul keluar dari kayu. Ini menyiratkan bahwa seorang muslim haruslah bisa menjadi mediator (penyambung) dari semua golongan tanpa pandang bulu. Ciri yang menonjol dari Semar adalah kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta.
Gareng; ciri yang menonjol dari
punakawan ini adalah berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa
(simbol) dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam
bertindak. Kemudian bermata kero yang merupakan kewaspadaan. Selain itu,
cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang patah. Ini adalah
sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang
lain dan teliti. Ketiga cacat tubuh tersebut menyimbolkan rasa. Gareng
juga diambilkan dari bahasa Arab “Qariin”, yang berarti teman. Pesan
yang tersarikan dari ciri fisik Gareng menunjukkan, bahwa kita haruslah
mencari teman yang selalu berhat-hati dalam bertindak, waspada, dan
tidak suka mengambil hak orang lain.
Petruk; ia adalah nama lain dari Dawala.
Dawa berarti panjang, La dari kata Ala yang berarti jelek. Semua bentuk
tubuhnya panjang, berkulit hitam, pokoknya jelek semua. Namun,
perlambangan dari petruk adalah memandang dan berpikir panjang dalam
segala hal, tidak grusa-grusu (ceroboh) dan mempunyai kesabaran yang
luas. Dalam khazanah Arab, Petruk berasal dari kata “Fatruk Kullu Man
Siwallah”, yang berarti “tinggalkan semua makhluk selain Allah.” Petruk
merupakan simbol dari karsa, kehendak, dan keinginan yang digambarkan
dalam kedua tangannya yang panjang. Jika digerakkan, tangan depan
menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam
erat-erat apa yang telah dipilih (agama/ ideologi).
Bagong; tokoh Bagong pun dilukiskan
dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya
lebar, bibirnya tebal. Gaya bicaranya terkesan ceplas-ceplos dan
semaunya sendiri. Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang
mengerti tata krama, namun tangguh. Dalam literatur bahasa Arab, Bagong
berasal dari kata “Baghaa”, yang berarti “berontak”. Bagong merupakan
bentuk dari karya. Hal itu disimbolkan dari kedua telapak tangan yang
kelima jarinya terbeber lebar, yang berarti selalu siap sedia untuk
bekerja keras.
Dari keempat simbol dari punakawan ini
(cipta, rasa, karsa dan karya), tidak bisa dipisah antara satu dengan
yang lainnya. Karena, keempat simbol itu merupakan intisari dari
kepribadian dan jati diri manusia, yaitu berfikir jernih, berhati tulus,
bertekad bulat, dan bekerja keras. Sehingga bisa menjadikannya sebagai
manusia yang ideal, baik di hadapan makhluk yang lainnya, dan di hadapan
Tuhan.
Belum ada Komentar untuk "Wayang, Tontonan yang Jadi Tuntunan"
Posting Komentar