Arti Kebahagiaan
3 Okt 2011
Tulis Komentar

Konon, kebahagiaan adalah tujuan utama
dari kehidupan. Manusia senantiasa berusaha dan bekerja untuk
meraihnya. Kebahagiaan ibarat keadaan hidup yang paling ideal dan
menyenangkan. Namun apa sebenarnya kebahagiaan itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahagia sebagai keadaan senang dan tentram (bebas dari sesuatu yang menyusahkan).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa bahagia adalah suatu
keadaan dan bukan benda. Sedangkan kebahagiaan berarti kesenangan atau
ketentraman itu sendiri. Jadi secara harafiah bahagia atau kebahagiaan
merupakan suatu keadaan.
Sayangnya tidak semua orang bisa
merasakan keadaan tersebut. Maka kemudian para ilmuwan mencoba
mencari-cari apa sebenarnya yang membuat manusia mengalami kebahagiaan.
Salah satu pendekatan yang mempelajarinya adalah Indigenous Psychology yang sedang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada.
Dengan metode open questionnaire
mencoba menggali hal-hal yang membuat orang berbahagia. Dari pertanyaan
tentang peristiwa yang paling membuat seseorang bahagia, maka
ditariklah poin-poin untuk mencari tahu apa sebenarnya faktor-faktor
penyebab kebahagiaan tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa
untuk masyarakat Indonesia situasi-situasi yang paling membuat bahagia
adalah yang erat kaitannya dengan hubungan sosial. Hal ini cukup masuk
akal mengingat Hoffstede mengkategorikan Indonesia sebagai negara yang
cenderung kolektif dan memiliki ikatan atau hubungan sosial yang kuat.
Seperti telah didefinisikan
secara harafiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa bahagia juga
berarti bebas dari suatu keadaan yang menyusahkan. Maka penelitian
tersebut juga memfokuskan untuk mencari tahu peristiwa-peristiwa yang
membuat orang merasa sedih dan marah. Hasilnya pun tidak jauh berbeda
dimana peristiwa yang berkaitan dengan faktor hubungan sosial menjadi
yang paling banyak.
Pertanyaannya apakah apabila kita memiliki hubungan sosial yang baik maka kita akan merasa bahagia? Dalam pendekatan Indigenous Psychology dikenal istilah understanding people in their context.
Artinya bahwa tiap-tiap manusia harus dipahami sesuai keadaannya atau
konteksnya masing-masing salah satunya adalah masalah kultural. Meski
penelitian di Indonesia menunjukkan situasi yang berkaitan dengan
hubungan sosial seringkali berhubungan erat dengan kebahagiaan tetapi
bukan berarti itu dapat digeneralisasikan.
Dalam budaya yang berbeda bisa
jadi orang bahagia atas situasi yang jauh berbeda. Masyarakat Indonesia
mungkin bisa saja merasa bahagia ketika dalam situasi-situasi yang
berkaitan dengan hubungan sosial, tetapi bagi masyarakat lain di Eropa
misalnya dimana hubungan sosial dianggap sebagai suatu hal yang sifatnya
privasi dibanding urusan pekerjaan mungkin kebahagiaan mereka sedikit
banyak lebih terpengaruh pada hal-hal yang sifatnya prestasi misalnya
atau capaian.
Dalam konteks yang sama pun
masih diperdebatkan apakah temuan ini bisa digunakan secara terbalik.
Misalnya saja dari data diketahui bahwa pada masyarakat Indonesia
seringkali situasi yang sangat membahagiakan adalah situasi-situasi yang
berhubungan dengan hubungan sosial dan prestasi. Maka apakah masyarakat
Indonesia yang memiliki prestasi dan hubungan sosial yang bagus berarti
dirinya bahagia? Apakah jika tidak memiliki hal-hal tersebut berarti
kita tidak bahagia?
Dalam paradigma ini kebahagiaan
dipandang sebagai sesuatu yang bersyarat. Individu akan merasa bahagia
dalam situasi-situasi tertentu dan jika tidak mengalami situasi tersebut
maka individu menjadi tidak bahagia. Kebahagiaan dianggap sebagai
sebuah benda abstrak yang harus dicari dan didapatkan padahal pada
definisi awal dijelaskan bahwa bahagia merupakan suatu keadaan, bukan
benda. Jikalau memang kebahagiaan dibatasi oleh waktu-waktu atau
keadaan-keadaan tertentu, maka kebahagiaan tersebut hanya dipandang
sebagai emosi atau suasana hati (mood).
Menurut pendapat saya,
kebahagiaan adalah sesuatu yang sifatnya personal dan berasal dari dalam
diri. Sehingga meskipun kita berusaha menghadirkan faktor-faktor atau
situasi-situasi yang seringkali membuat orang sangat bahagia pada suatu
individu tertentu maka bukan berarti individu tersebut akan merasakan
bahagia atas semua itu.
Banyak buku-buku dan pakar yang
mencoba mengajarkan manusia agar hidup bahagia. Kebanyakan dari mereka
menjelaskan tentang konsep kebahagiaan yang tidak bersyarat. Kebahagiaan
diperoleh tidak dengan mendapatkan suatu keadaan atau situasi tertentu
tetapi dengan mengubah cara pandang kita terhadap keadaan kita saat ini.
Dalam konsep kebahagiaan tak bersyarat ini kebahagiaan dipandang
sebagai suatu keadaan yang konstan dan tidak hanya muncul pada
situasi-situasi tertentu saja.
Sebuah falsafah Jawa yang disebut Ngelmu Begja
yang disusun oleh Ki Ageng Suryomentaram juga menjelaskan tentang
dinamika rasa senang dan susah. Rasa senang dan susah diperoleh dari
selisih antara kenyataan dan harapan. Jika kenyataan lebih besar
daripada harapan maka akan timbul rasa senang dan sebaliknya. Intinya
untuk dapat selalu merasakan kebahagiaan kita harus menekan harapan
serendah mungkin sehingga apapun kenyataan yang kita dapatkan akan
membuat kita merasa senang. Konsep ini dalam falsafah Jawa hampir mirip
dengan konsep Nrimo ing Pandum atau dalam ajaran agama kita sering mengenalnya sebagai syukur.
Hingga saat ini para ilmuwan pun
masih memperdebatkan tentang kebahagiaan itu sendiri. Ada berbagai
teori yang mencoba menjelaskan tentang kebahagiaan mulai dari Rogers
yang melihatnya hanya sebagai efek samping hingga ilmuwan-ilmuwan yang
menganggap itu merupakan tujuan dari kehidupan. Penelitian-penelitian
pun terus berkembang mencoba mendefiniskan kebahagiaan agar nantinya
dengan temuan tersebut semua orang bisa merasakannya. To Have Happy or to be happy?
Belum ada Komentar untuk "Arti Kebahagiaan"
Posting Komentar