Didalam sebuah hadits shahih dari Umar bin Khottob yang menceritakan
tentang kedatangan Jibril menemui Rasulullah saw yang saat itu tengah
berkumpul bersama para sahabatnya. Diantara yang ditanyakan Jibril
kepada Rasulullah saw adalah tentang makna ihsan lalu beliau saw
menjawab,”(ihsan) hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguh-Nya Dia
melihatmu.” Dan jawaban ini pun dibenarkan oleh Jibril.
Hadits
shahih ini diriwayatkan oleh Imam Muslim didalam “Shahih” nya, kitab ‘al
Iman’, hadits no. 8. Juga Imam Tirmidzi didalam “Sunan” nya, kitab ‘al
Iman’, hadits no. 2738. Juga Abu Daud didalam “Sunan” nya, kitab ‘as
Sunnah’ bab ‘al Qodr’ hadits no. 4695 serta Imam Nasai didalam “Sunan”
nya, kitab ‘al Iman’ bab ‘Na’tul Islam’ 8/97
Tentang makna
“Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya”, Ibnu Rajab didalam bukunya “Jami’ al Ulum wa al Hikam”
mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan seorang hamba yang beribadah
kepada Allah swt dengan sifat ini, yaitu menghadirkan kedekatan Allah
swt dan Allah berada dihadapannya seakan-akan dirinya melihat-Nya. Hal
demikian akan memunculkan perasaan takut dan pengagungan-Nya sebagaimana
disebutkan didalam riwayat Abu Hurairoh,”Takutlah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya.”
Perasaan itu juga akan
memunculkan kemurnian didalam ibadah dan upaya sekeras mungkin untuk
memurnikan dan menyempurnakan ibadahnya itu sebagaimana wasiat Nabi saw
kepada para sahabatnya yang diriwayatkan Ibrahim al Hijriy dari Abu al
Ahwash dari Abu Dzar berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw) pernah
memberikan wasiat kepadaku agar aku takut kepada Allah seakan-akan aku
melihat-Nya dan jika aku tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatku.”
Kemudian
Ibnu Rajab menjelaskan tentang makna “Dan jika kamu tidak melihat-Nya,
sesungguhnya Dia melihatmu.” Ada yang mengatakan bahwa bagian kedua ini
merupakan penjelasan dari bagian pertama. Sesungguhnya jika seorang
hamba diperintahkan untuk merasakan pengawasan Allah swt didalam
ibadahnya dan menghadirkan kedekatan-Nya terhadap dirinya sehingga
seakan-akan dirinya melihat Allah maka hal ini sangatlah sulit.
Untuk
itu hendaklah dirinya meminta pertolongan dengan keimanannya bahwa
Allah swt melihatnya, mengetahui segala yang tersembunyi dan tampak
padanya, yang batin maupun yang lahir dan tak satupun dari perkaranya
yang tersembunyi dari-Nya.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadits
itu mengisayaratkan bagi siapa saja yang kesulitan didalam beribadahnya
kepada Allah swt seakan-akan dirinya melihat-Nya maka beribadahlah
kepada Allah dengan keyakinan bahwa Allah melihat dirinya,
memperhatikannya kemudian dirinya merasa malu atas penglihatan Allah
kepadanya itu.
Sebagian orang-orang arif dari para salaf
mengatakan,”Barangsiapa yang beramal karena Allah swt seakan-akan dia
melihat-Nya maka ia adalah orang yang arif dan barangsiapa yang beramal
dikarenakan Allah melihat-Nya maka ia adalah orang yang ikhlas.”
Dari perkataan tersebut menunjukkan adanya dua posisi :
Posisi
Ikhlas; yaitu seorang hamba yang beramal dengan menghadirkan
penglihatan Allah terhadap dirinya, pengamatan-Nya dan kedekatan-Nya
dengan dirinya. Maka apabila seorang hamba menghadrikan seperti itu
didalam amalnya dan beramal karena itu maka ia adalah seorang yang
ikhlas karena Allah karena menghadirkan hal demikian didalam amalnya
menghalanginya dari berpaling kepada selain Allah dan kehendak-Nya
dengan amal yang dilakukannya.
Posisi Musyahadah (menyaksikan);
yaitu seorang hamba yang beramal sebagai tuntutan karena dirinya
menyaksikan Allah dengan hatinya dikarenakan hatinya telah diterangi
oleh cahaya keimanan, mata hatinya menembus pengetahuan sehingga
menjadikan sesuatu yang ghaib seakan-akan terihat, inilah hakekat ihsan
yang diisyaratkan didalam hadits Jibril diatas.
Dengan demikian
yang dimaksudkan kalimat “seakan-akan engkau melihat-Nya” adalah melihat
dengan hatinya yang dipenuhi dengan cahaya keimanan kepada Allah swt
bukan dengan matanya dan bukan pula membayangkan dzat Allah swt dengan
akal fikirannya yang serba terbatas untuk bisa mencapainya. Karena
dilarang bagi seorang hamba yang menghabiskan waktunya untuk merenungi
atau memikirkan dzat Allah swt akan tetapi diperintahkan baginya untuk
merenungi berbagai ciptaan-Nya yang ada di sekitarnya dikarenakan
keterbatasan yang ada pada dirinya, sebagaimana firman Allah swt :
لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya
: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha
mengetahui.” (QS. Al An’am : 103)
Wallahu A’lam
Tagged with: Mutiara Hidup
About RK Entertain
Radio Kurnia FM Trenggalek"-Informasi Music Dan Budaya" Telp.0821 4107 4555 SMS.0821 4107 4666
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Posting Komentar